Arsitek Nabila Larasati meraih penghargaan internasional tahunan bergengsi di bidang arsitektur lingkungan dari Jacques Rougerie Foundation, Prancis. Nabila menang dengan mengalahkan para peserta dari berbagai negara lewat karya berjudul A Living Organism. Nabila meraih penghargaan dalam kategori “Architecture and Sea level rise” Leonardo da Vinci Promotion.
Justin Ahanhanzo dari UNESCO menyerahkan langsung penghargaan untuk Nabila. Diserahkan di hadapan Menteri Kebudayaan Perancis M Franck Riester, Chancellor Institute de France, dan duta besar dari negara negara asal pemenang, di Institute de France Paris. Dewan juri tahun dipimpin Dominique Perrault, arsitek dan urban planner Prancis; Claudie Haignere, politikus dan astronot; Justin Ahanhanzo, pakar Intergovernmental Oceanographic Commission UNESCO; dan Francis Rembert, Director of the Cite de l’Architecture.
Perempuan arsitek Indonesia lulusan Singapore University of Technology and Design (SUTD) bercerita mentornya saat itu, Eva Castro, adalah sosok yang mendorong anak didiknya untuk meneruskan proyek proyeknya lebih besar dari kurikulum yang ditempuh. "Dia lah yang menyarankan saya submit projek ini ke Jacques Rougerie International Competition," tutur Nabila. Sebenarnya background saya adalah seni rupa dan awalnya saya melihat arsitektur sebagai profesi yang lebih ribet dan praktikal daripada kreatif.
Tapi sebelum declaring major saya di universitas, saya ikut summer program di University of California, Berkeley. Saya ambil introductory architecture course. Dari situ lah saya discover kalau arsitektur itu bukan hanya the design of buildings, dia itu the design of lifestyles/our ways of living and thinking. Bidang arsitektur itu ternyata bisa sangat poetic, abstrak dan relevant to world issues.
Projek yang saya submit ke kompetisi ini adalah projek final year thesis saya untuk Master of Architecture degree di Singapore University of Technology and Design. Mentor saya, Eva Castro, itu orang yang sangat dedicated dan dia encourage students nya untuk meneruskan projek projek beyond the curriculum dan beyond graduation. Dia lah yang menyarankan saya submit projek ini ke Jacques Rougerie International Competition.
Kebetulan topik nya sangat relevant, karena Jacques Rougerie ini adalah arsitek yang sangat terkenal untuk ocean and water based architecture, dan dia foundation nya kerja sama dengan UNESCO untuk visionary ideas yang confront issue2 sea level rise dan climate change. Living Organism itu penelitian saya dalam bidang sea level rise dan akibat akibatnya untuk coastal communities di Mekong Delta. Penelitian ini dilaksanakan dalam jalur speculative fiction. Untuk mencari cara dimana in the far future, komunitas komunitas ini bisa menggunakan technology baru untuk membangun their own self sufficient floating community yang menggunakan air laut dan lingkungan baru nya sebagai resources yang penting untuk survival nya.
Generasi saya sebenarnya adalah generasi yang paling aware dan peduli tentang isu lingkungan, tapi ada banyak blind spot nya. Kecenderungannya kita approach masalah ini dengan adopt lifestyle yang lebih "green" dan "environmentally friendly". Untuk mencegah climate change. Tapi banyak yang ignore the fact kalau climate change itu sebenarnya sudah terjadi dan sudah greatly affect komunitas komunitas yang sangat vulnerable, salah satunya komunitas pinggir pantai yang gaya hidupnya dan mata pencahariannya termusnahkan oleh sea level rise. Karena kesadaran ini lah saya interested untuk meniliti cara cara kita bisa move on dari mindset "pencegahan" climate change dan mulai adopt mindset "adaptasi" climate change.
Jakarta selalu disebut sebagai salah satu kota yang sangat vulberable pada climate change. Bukan cuma karena sea level rise saja, tapi karena pengambilan air dari bawah tanah menyebabkan land subsidence (penurunan permukaan tanah). Pembangunan sea wall itu adalah short term solution yang akhirnya juga tidak efektif. Saya bukan berarti expert yang bisa menyarankan pemerintah karena masalahnya pasti jauh lebih complicated dan multi faceted. Tetapi, dalam lingkungan international, mulai ada gerakan menuju water based architecture dan infrastructure.
Contohnya, Floating City Apps yang di design oleh arsitek Belanda, Waterstudio. Ada juga konsep floating city yang baru di release arsitek dari Denmark, Bjarke Ingels Group. Semua ini meneliti bagaimana kita bisa mulai mengunakan laut sebagai valuable resource, bukan enemy nya kita. Pertanyaan ini susah dijawab. Tentu saya ingin bisa contribute ke community sebisanya dan punya pekerjaan yang meaningful dan impactful. Tapi seperti yang terlihat dari global pandemic ini, sebenarnya punya pekerjaan apa saja sudah bagus.
Jadi mungkin mimpi saya hanya untuk terus berkembang dan punya the hunger to learn and to challenge myself, dalam apapun yang saya lakuin. Hidup itu bisa sangat unexpected, jadi yang bisa di control cuma attitude nya kita saja. Pesan saya adalah untuk punya a sense of curiosity. Setelah lulus dari kuliah, banyak orang yang mulai merasa kehilangan arahan. Bekerja dari pagi sampai sore hanya untuk dapat gaji, banyak orang mulai letih dan tidak banyak berkreasi atau berkembang di luar pekerjaannya.
Terus lah menjadi orang yang berani explore dan berusaha challenge diri sendiri untuk belajar lebih banyak.