Pengamat intelijen Stanislaus Riyanta menjelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah Indonesia sebelum memulangkan Warga Negara Indonesia (WNI), mantan pendukung ISIS ke tanah air. "Mereka tentu dengan sadar meninggalkan tanah air untuk bergabung dengan kelompok teroris yang dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh dunia," katanya ketika dikonfirmasi pada Kamis (6/2/2020). Sebagian besar dari mereka bahkan sudah membakar dokumen kewarganegaraannya seperti paspor. Pembakaran paspor ini, lanjutnya menjadi bukti bahwa mereka memang tidak berniat untuk kembali ke Indonesia.
Menurut Stanislaus akan sulit memulangkan para kombatan ISIS ini jika mereka tidak mempunyai bukti bukti yang menunjukkan status kewarganegaraannya sebagai orang Indonesia. Ada masalah yang bisa saja muncul jika orang tanpa dokumen kewarganegaraan dipulangkan begitu saja. "Rawan terjadinya penyusupan yang dampaknya tentu akan menyulitkan Pemerintah Indonesia. Saat ini belum ada aturan atau prosedur yang jelas untuk menangani kasus pemulangan WNI pendukung kelompok teroris seperti ini," ia mengingatkan. "Jika pemerintah bisa melakukan pencabutan kewarganegaraan karena seseorang meninggalkan Tanah Air, dengan sengaja menghilangkan dokumen kewarganegaraan, dan bergabung dengan organisasi terlarang, tentu akan disambut baik oleh masyarakat," ujarnya.
Hal tersebut menjadi bukti, negara tidak memberikan toleransi terhadap warga negaranya yang terlibat dalam organisasi teroris trans nasional seperti ISIS. Namun, jika status pencabutan kewarganegaraan ini bisa dilakukan, maka pemerintah tidak perlu repot untuk memulangkan WNI pendukung ISIS yang kini berada di Suriah. "Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan, mengingat tekad kuatnya mereka bergabung dengan ISIS hingga rela meninggalkan tanah airnya, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang telah menjual harta bendanya di tanah air, belum tentu mau untuk dipulangkan ke Indonesia," katanya. Lebih lanjut, Stanislaus mengatakan dengan kekuatan ideologinya, kemungkinan besar para simpatisan ISIS tersebut akan berusaha bertahan di Timur Tengah hingga titik darah penghabisan. Hal ini tentunya membuat pemerintah Indonesia akan kesulitan untuk memulangkan orang yang tidak mau pulang.
Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah WNI pendukung ISIS tersebut bersandiwara dengan berpura pura tidak radikal. Mereka bisa saja mengaku hanya sebagai korban atau memanipulasi perilaku lainnya hanya untuk menyelamatkan diri dari tekanan situasi yang berat di Suriah. "Dengan sikap itu mereka berharap dengan pertimbangan kemanusiaan dapat dipulangkan oleh pemerintah," ungkap Stanislaus. Manipulasi ini merupakan bentuk mekanisme survival mereka agar bisa selamat dari Suriah. Berdasarkan hal hal tersebut, Stanislaus mengatakan ada tiga skenario yang mungkin terjadi dalam menyikapi wacana pemulangan 600 WNI pendukung ISIS di Suriah.
Skenario pertama adalah tidak memulangkan WNI pendukung ISIS dari Suriah. Alasan paling kuat untuk skenario ini adalah kewarganegaraan telah dicabut. "Jika skenario ini yang terjadi sebaiknya pemerintah menyiapkan dasar hukum pencabutan warga negara terutama bagi orang yang telah meninggalkan negara dan bergabung dengan organisasi terlarang di negara lain," ujarnya. Menurutnya, apabila aturan ini sudah dijalankan maka WNI pendukung ISIS di Suriah bukan menjadi tanggung jawab pemerintah lagi sehingga tidak perlu dipulangkan.
Skenario kedua adalah memulangkan sebagian WNI pendukung ISIS dari Suriah, yakni mereka orang yang belum dewasa, menjadi korban karena dipaksa bergabung, atau karena memang sudah benar benar sadar ingin kembali menjadi WNI. Namun untuk menentukan orang dengan kategori tersebut tentu tidak mudah karena perlu observasi yang cukup detail. Observasi harus dilakukan dengan cermat dan ketat, dengan melibatkan banyak pihak seperti BNPT, Polri, Imigrasi, Kementrian Agama, dan psikolog untuk memastikan motif dan tingkat paparan paham radikalnya.
"Jika skenario ini yang terjadi tentu syarat bahwa mereka masih mempunyai dokumen seperti paspor harus menjadi syarat wajib," katanya. Selain itu pemerintah tetap harus melakukan proses hukum karena mereka telah melanggar aturan keimigrasian, terlibat dalam organisasi terlarang, dan terorisme. Tentu saja program deradikalisasi juga harus diikuti sehingga ketika selesai menjalani hukumannya mereka dapat dikembalikan ke masyarakat dalam kondisi tidak radikal.
Skenario ketiga adalah memulangkan semua WNI pendukung ISIS ke Indonesia. Stanislaus mengatakan ini adalah skenario terburuk karena dapat disebut bahwa Indonesia justru menjemput atau mendekatkan sumber ancaman terorisme ke tanah air. Skenario ini juga berarti pemerintah mengambil risiko besar untuk menerima ancaman radikalisasi dan terorisme secara masif di kemudian hari. Jika skenario terburuk ini terjadi, maka pemerintah harus melakukan proses hukum dengan cukup ketat. Kemudian melakukan isolasi agar 600 WNI pendukung ISIS itu tidak menyebarkan ideologinya ke masyarakat di Indonesia.
"WNI pendukung ISIS yang sudah pergi ke Suriah tentu mempunyai ideologi radikal yang cukup kuat dan tidak mudah begitu saja menjadi tidak radikal, kecuali memang pura pura tidak radikal untuk tujuan tertentu," katanya. Stanislaus mengungkapkan, skenario pertama merupakan skenario terbaik yang harus terjadi dan dilakukan pemerintah. Dengan banyak pertimbangan, maka sebaiknya skenario kedua dan ketiga alias skenario terburuk bukan menjadi pilihan. "Sikap tegas pemerintah kali ini perlu dilakukan agar sumber ancaman radikalisme dan terorisme di Indonesia tidak semakin bertambah dan berkembang," ujarnya.